Rabu, 25 Januari 2012

Sistem Poin, efektifkah ?

Kedisiplinan bukan lagi hal yang asing bagi kehidupan kita.Sejak dini, keluarga kita telah menerapkan berbagai hal untuk kita jalani dan menjelaskan apa- apa saja yang sebaiknya kita hindari. Tentu saja dengan adanya hal tersebut , secara tidak langsung kita telah belajar untuk disiplin, karena engan sederhana keluarga kita mengajarkan, jika kita tidak disiplin maka kita akan mendapat hukuman. Namun, dengan cara seperti tu, sanggupkah kedisiplinan itu menetapdi dalam diri kita?
Anda sebagai remaja mungkin juga merasakan derasnya arus keingintahuan yang mengalir dalam diri Anda. Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi International Universitas Harvard mengungkapkan bahwa delapan puluh persen remaja dunia merasakan keraguan dan kepastian di saat yang bersamaan sehingga membuat kemerosotan prinsip hidup yang telah diajarkan, salah satunya adalah kedisiplinan yang telah diajarkan oleh keluarga. Di SMA Negeri 1 Salatiga, kedisiplinan sangat diperhatikan. Kedisiplinan dalam segala hal. Hingga diadakannya sistem poin untuk mendukungnya. Pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan memiliki poin tersendiri yang nanti pada akhirnya akan diakumulasikan.
Menurut pengamatan yang di lakukan setiap harinya, bisa dilihat bahwa sistem poin berpengaruh tapi tidak terlalu efektif karena masih bisa dijumpai banyak siswa yang belum jera dengan sistem poin tersebut. Banyak siswa yang hanya berdisiplin disaat tertentu dimana guru yang biasanya ‘sensitif’ terhadap poin akan mengajar atau terlihat batang hidungnya.
Selain efektifitas, hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah : pelanggaran dengan tingkat rendah tidak mendapat poin yang terlalu tinggi, padahal pelanggaran semacam itu justru pelanggaran yang sering dilakukan. Dengan pertimbangan itu, seharusnya bisa dilogika siswa tidak akan jera karena poin yang diberikan membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai jumlah tertentu dan cukup untuk mengeluarkan mereka dari sekolah, mereka akan tetap santai menjalani pelanggaran – pelanggaran tersebut.
Faktor lain yang menyangkut efektifitas adalah : guru dapat dengan mudah memberi poin bagi siswa siswinya supaya dapat berdisiplin diri, tapi ada beberapa guru yang tidak bisa memberi contoh yang baik bagaimana cara berdisiplin diri. Sebagai contoh, ada beberapa guru yang meninggalkan pelajaran tanpa alasan yang jelas, bermain handphone ataupun bercakap – cakap saat menjaga ruang tes. Hal ini cukup membuat siswa berontak untuk mengikuti tata tertib karena guru mereka sendiri pun tidak memberi contoh yang baik.
Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah : poin hanya membuat siswa jera, bukannya sadar. Mereka takut melakukan sesuatu hanya karena takut poin mereka bertambah dan akan penuh, bukannya sadar bahwa apa yang mereka lakukan itu salah. Ini justru tidak membentuk karakter, karenamenurut Izzati Rahma S.Psi ini hanyalah sebuah paranoid sesaat dan justru menekan mental, bukan membentuk karakter.
Pemberlakuan sistem poin untuk membentuk kedisiplinan ini tidak salah, hanya kurang tepat. Yang harus dicari solusinya adalah bagaimana caranya membuat siswa sadar atas apa yangmereka lakukan, tidak mengulangi hal yang salah, dan menerapkan yang benar agar menetap dalam diri mereka. Jika hanya jera yang dimaksudkan, sama saja membuat penekanan mental yang jauh lebih membahayakan.
Sistem poin yang diberlakukan ini memerlukan banyak pembenahan agar nanti pada pelaksanaannya bisa menjadi lebih efektif. Bagaimana caranya supaya poin ini membuat siswa sadar adalah jalan keluar yang harus dicari. Hukuman mungkin bukan cara yang tepat, akan tetapi pemberlakuan dari hati nurani, niat, logika, dan pikiranlah yang harus disetarakan agar menjadi padu dan menetap lama dalam diri kita.

Putri Ramadhani Nugraha 
X10 / 20

0 komentar:

Posting Komentar